IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Ilmiah dan Peradaban Dunia

IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Ilmiah dan Peradaban Dunia


Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah salah satu kunci keunggulan suatu bangsa atas bangsa lainnya. Namun, yang lebih vital dari itu adalah motivasi suatu bangsa menguasai iptek. Selama motivasi ini ada maka bangsa itu tak kan pernah kenal lelah untuk mempelajari dan mengembangkan iptek serta menyiapkan segala infrastruktur yang diperlukan. Mereka tak cuma akan mengejar ketinggalannya, namun juga akan selalu bisa mempertahankan keunggulan yang telah mereka raih.

Paksaan atau rangsangan ekonomi adalah motivator bermutu rendah; mudah ditimbulkan, namun mudah pula hilang; tidak bisa melahirkan suatu kesinambungan sendiri. Pembangunan iptek yang dilakukan karena paksaan suatu rezim tiranik, misalnya, akan segera berhenti bila paksaan itu dikendorkan. Akibatnya, untuk menghidupkan iptek, rakyat dan para ilmuwan harus terus-menerus hidup dalam ketakutan. Adapun rangsangan ekonomi memiliki “mutu” sedikit di atas paksaan, namun sama sensitifnya. Iptek yang belum menghasilkan keuntungan ekonomi secara langsung akan terabaikan. Padahal banyak iptek yang pada masa awalnya sama sekali “kering”.
Motivasi yang paling tinggi nilainya adalah keyakinan bahwa pekerjaan itu benar dan harus dilakukan. Keyakinan itu memerlukan waktu untuk ditanamkan ke dada manusia, namun sekali tertanam ia akan “hidup” terus, selama bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Manusia akan bekerja bebas tanpa paksaan, merdeka tanpa harus tunduk pada kendala ekonomi. Mereka bekerja semata-mata karena yakin kebenarannya, dan untuk itu mereka akan selalu menemukan jalan, agar pekerjaannya bisa berhasil. Motivasi inilah yang dimiliki oleh para nabi, yang juga diwarisi umat Islam pada masa lalu, sehingga bisa mengangkat bangsa yang “ummi” (buta huruf) menjadi bangsa yang meninggalkan jejak yang luar biasa pada dunia iptek.

Aspek Normatif
Ayat yang turun pertama-tama adalah ayat tentang perintah membaca (QSal-‘Alaq [96]: 1-5). Selanjutnya Allah memerintahkan menggunakan akal, menyebut kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang melihat alam, berpikir, memahami dan mempertebal keimanannya. Sains terkait langsung dengan iman (QS Yunus [10]: 100; Fathir [35]: 28; Yunus [10]: 101). Kemudian Allah memerintahkan kita untuk menundukkan alam sesuai sunnatullah maka muncullah teknologi (QS al-Jatsiyah [45]: 13). Banyak contoh yang diberikan nabi dan lalu diteruskan oleh para salafus-shalih, yang menjadikan umat Islam dalam waktu singkat bisa mengungguli iptek yang pernah dikuasai oleh bangsa manapun sebelumnya.

1. Pembentukan penalaran ilmiah.
Sejak mula, Islam tidak menerima pendapat tanpa argumentasi rasional, siapapun yang mengucapkan (QS an-Naml [27]: 64). Islam tidak mengakui sangkaan (zhann) untuk hal-hal yang perlu keyakinan penuh dan ilmu yang akurat (QS an-Najm [53]: 28). Islam menolak subyektivitas emosi karena apapun kesimpulannya, ia berinteraksi pada hukum alam (QS Shad [38]: 26). Islam mengikis patuh buta (taklid), baik itu kepada nenek moyang, pemimpin, apalagi pada orang awam (QS al-Baqarah [2]: 170). Islam mementingkan pengamatan empiris terhadap langit dan bumi dan segala isinya (QS adz-Dzariyat [51]: 20-21).

2. Pengakuan metode eksperimental
Pada kasus pencangkokan kurma yang ternyata gagal, Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang terjadi?” Mereka menjawab, “Baginda telah mengatakan begini dan begitu”. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih tahu urusan teknik dunia kalian.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain, Rasul saw. bersabda, “Ucapanku dulu hanyalah dugaanku. Jika berguna, lakukanlah. Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu. Dugaan bisa benar bisa salah. Namun, apa yang kukatakan kepada kamu dengan Allah berfirman, maka aku tak akan pernah berdusta terhadap Allah.” (HR Ahmad).

3. Memetik segala yang bermanfaat
Rasulullah saw. bersabda, “Ilmu itu bagai binatang ternak sesat orang Mukmin. Di manapun ia menemukannya, ia lebih berhak atasnya.”(HR at-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Atas dasar ini, maka umat Islam tidak pernah merasa risih belajar ilmu-ilmu yang tidak terwarnai pandangan hidup pemiliknya seperti matematika, fisika, kedokteran, ilmu militer hingga administrasi.

4. Memberantas tahayul dan khurafat
Saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya Ibrahim putra Nabi saw., sebagian Muslim menghubungkan hal itu sebagai tanda kebenaran Nabi saw. sehingga “matahari pun turut berduka”. Namun, Nabi saw. justru bersabda, “Gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya adalah tanda-tanda kekuasaan Allah.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang mendatangi dukun/paranormal dan menanyakan sesuatu, lalu membenarkan apa yang dia ucapkan, maka salatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR Muslim).

Implikasi Kebijakan
Semua amalan itu ada ilmunya. Amalan yang fardhu ‘ain, ilmunya juga fardhu ‘ain. Amalan yang fardhu kifayah, ilmunya pun fardhu kifayah. Amalan yang fardhu ‘ain adalah amalan yang sehari-hari harus dikerjakan oleh setiap orang, baik untuk diri sendiri (mengetahui cara hidup sehat, dll), berhubungan kepada Allah (taharah, shalat, puasa, dll) maupun untuk berhubungan dengan sesama manusia (muamalah, menjaga amanat, dsb).
Hidup dalam dakwah. Dengan itu, dalam belajar seorang Muslim akan menyerap ilmu secara maksimal sebab nanti ia harus mampu meneruskannya ke orang lain; dalam bekerja harus mencapai prestasi terbaik sebab nanti ia harus bisa menjadi contoh bagi yang lain.
Negara Islam menyiapkan infrastruktur yang mendukung. Dukungan negara bisa dimulai dari menjamin kebebasan akademis, pemerataan akses ilmu (pendirian sekolah, perpustakaan, observatorium, laboratorium) hingga implementasinya. Kestabilan politik serta jumlah “penjaga gawang keadilan” yang memadai juga membebaskan para ilmuwan iptek untuk berkonsentrasi pada riset ipteknya, tanpa harus selalu diputus untuk amar makruf nahi mungkar.

Bukti Historis
Prestasi umat Islam dalam sains dan teknologi sangat banyak dan berjalan konsisten selama hampir 1200 tahun. Memang, ada masa-masa ketika ilmu-ilmu dasar seperti matematika, fisika, kimia dan astronomi lebih berkembang, yaitu pada awal era Abbasiyah. Kemudian ada masa saat teknologi seperti kedokteran, geografi, pertanian, permesinan, arsitektur bahkan teknik senjata lebih berkembang, seperti pada era Utsmani. Hal ini diakui oleh banyak sejarahwan Barat.
John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics Archive:
Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to European mathematicians of the sixteenth, seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathematicians around four centuries earlier(Penelitian terkini memberi-kan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita. Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15, 17 dan 18 ternyata telah dikembangkan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat abad lebih awal).

Will Durant juga menulis dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith:
Chemistry as a science was almost created by the Moslems; for in this field, where the Greeks (so far as we know) were confined to industrial experience and vague hypothesis, the Saracens introduced precise observation, controlled experiment, and careful records. They invented and named the alembic (al-anbiq), chemically analyzed innumerable substances, composed lapidaries, distinguished alkalis and acids, investigated their affinities, studied and manufactured hundreds of drugs. Alchemy, which the Moslems inherited from Egypt, contributed to chemistry by a thousand incidental discoveries, and by its method, which was the most scientific of all medieval operations(Kimia adalah ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh kaum Muslim. Saat dalam bidang ini orang-orang Yunani tidak memiliki pengalaman industri dan hanya memberikan hipotesis yang meragukan, para ilmuwan Muslim mengantarkan pada pengamatan teliti, eksperimen terkontrol dan catatan yang hati-hati. Mereka menemukan dan memberi nama alembic (al-anbiq), menganalisis substansi yang tak terhitung banyaknya, membedakan alkali dan asam, menyelidiki kemiripannya, mempelajari dan memproduksi ratusan jenis obat. Alkimia yang diwarisi kaum Muslim dari Mesir menyumbangkan untuk kimia ribuan penemuan insidental, dari metodenya, yang paling ilmiah dari seluruh kegiatan pada Zaman Pertengahan).

Phillip K. Hitti pun menulis dalam History of the Arabs tentang Abbas ibn Firnas (abad 10M) yang melakukan eksperimen alat terbang di Cordoba, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Donald R. Hill dalam bukunya, Islamic Technology: an Illustrated History(Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986), membuat sebuah daftar yang lumayan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam; dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan hingga pertambangan dan metalurgi.
Kata-kata Arab pun terwarisi dalam istilah-istilah astronomi, alat-alat bedah hingga barang-barang yang ada di dapur.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "IPTEK Era Khilafah: Membangun Nalar Ilmiah dan Peradaban Dunia"

Post a Comment